Saturday, September 01, 2007

Minta Maaf, Bukankah Lebih Elok?

Suara Merdeka, 1 September 2007

Berbesar hati meminta maaf, bukankah lebih elok ketimbang menimbun persoalan dalam hubungan diplomasi pertetanggaan? Ketika akhirnya Malaysia, melalui Perdana Menteri Abdullah Badawi meminta maaf kepada bangsa Indonesia melalui pembicaraan telepon dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita berpikir, haruskah penyesalan lewat pengakuan meminta maaf menjadi sesuatu yang terlalu berat dilakukan pemerintah Malaysia? Padahal peristiwanya sudah sangat jelas, yakni seorang warga negara Indonesia, wasit karate Donald Luther Kolobita dikeroyok oleh empat polisi di Malaysia.

Kemarahan rakyat Indonesia kepada negeri jiran itu sebenarnya memang sudah akumulatif. Berbagai kasus penganiayaan, bahkan kematian tenaga kerja kita tidak pernah dituntaskan dalam perimbangan rasa keadilan yang memadai. Belum lagi kasus-kasus menyangkut kedaulatan seperti lepasnya Pulau Sipadan - Ligitan, dan perebutan blok Ambalat. Ketika pengeroyokan wasit karate itu direaksi dengan penarikan diri kontingen Indonesia dari kejuaraan yang dilangsungkan di Negeri Sembilan, sikap Malaysia juga berkesan seadanya. Hanya berjanji mengusut tuntas kasus tersebut, dan memberi prioritas penyelesaian.

Akumulasi kejengkelan rakyat tercermin dari berbagai unjuk rasa ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, dan langkah-langkah "balas dendam" berupa sweeping. Juga pernyataan-pernyataan keras mengenai tindakan keras diplomatik. Rencana pemboikotan terhadap kegiatan olahraga di Malaysia disampaikan oleh Menpora Adyaksa Dault. Memang di luar itu muncul pula nada-nada yang mencoba mendinginkan suasana, namun selebihnya kita menangkap keterusikan rasa kebangsaan, serta keterhinaan kebanggaan sebagai bangsa. Kita menyimpulkan Malaysia telah bersikap tidak bijaksana dan cenderung arogan.

Di balik sikap yang harus diambil demi kehormatan bangsa, sisi lain yang bersifat introspektif juga patut diketengahkan. Misalnya, mengapa Malaysia berkesan merendahkan martabat bangsa Indonesia, yang notabene serumpun dengan akar persaudaraan sangat kuat, termasuk akar ideologis? Padahal dalam berbagai sisi, tidaklah berlebihan jika kebudayaan Indonesia dan Malaysia digambarkan sebagai satu rekatan: Melayu. Indonesia adalah Malaysia, Malaysia adalah Indonesia. Masalahnya, benarkah terdapat kecenderungan arogansi di satu pihak dan inferioritas di pihak kita, karena faktor-faktor sosial-ekonomi?

Mereka bersikap arogan bisa jadi karena fakta interaksi ekonomi, yakni ketika "ekspor" tenaga kerja Indonesia mayoritas bergerak bukan di ranah intelektual. Skill-nya pun masih banyak dikeluhkan. Apalagi berkembang pula berbagai pernik persoalan ilegalitas ketenagakerjaan. Lompatan-lompatan ekonomi Malaysia justru ketika Indonesia terlilit krisis dalam masa yang cukup panjang menyebabkan kita seolah-olah makin merasa tertinggal. Inferioritas pun menggejala. Terdapat jarak psikologis yang seperti terbentangkan. Bahkan untuk sebuah permintaan maaf pun kita seperti harus memaksa Malaysia.

Bersikap keras menghadapi bentuk-bentuk arogansi terkadang memang harus diambil, tetapi tetap dengan tema-tema keanggunan diplomasi, bukan anarki. Harus diyakinkan bahwa Malaysia pun membutuhkan Indonesia, bukan hanya sebagai saudara serumpun, melainkan juga karena kecakapan sumberdaya manusia kita. "Diplomasi bulu tangkis" Indra Gunawan dan Rexy Mainaky, juga di sepak bola lewat Bambang Pamungkas dan Elie Aiboy serasa efektif menunjukkan kita bukan bangsa yang lemah. Bagaimanapun, kehormatan harus digali dan dimunculkan lewat performa anak-anak bangsa yang membanggakan.